Breaking News
Loading...
2013-04-24

Perlawanan Rakyat Terhadap Kapitalis (Perkebunan Sawit)


Ilustrasi kerusakan hutan dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit firanda

Pontianak. BCC. Bertempat di secretariat WALHI Kalimantan Barat dalam menyambut hari bumi,membahas rangkuman perjalanan panjangan kasus yang menimpa warga Semunying Jaya. Sebuah telaah mengenai ekspansi perkebunan kelapa sawit di wilayah Semunying Jaya, Jagoi Babang, Bengkayang (Perbatasan Indonesia dan Malaysia).Kehadiran investasi di daerah tersebut bukan malah ‘mensejahterakan’ namun merampas dan mengabaikan hak-hak rakyat maupun keberadaan warga.
Perusahaan tidak memiliki itikad baik terhadap keberadaan masyarakat adat setempat,  masuk tanpa permisi, tanpa persetujuan warga serta mengabaikan adat dan kearifan lokal dan  mengabaikan konstitusi yang berlaku dalam pembukaan lahan. Koordinator Divisi Riset dan Dokumentasi Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan,(Selasa. 22/4/2013).
Adam menjelaskan, Perusahaan menghancurkan sumber kehidupan masyarakat atas akses terhadap  sarana infrastruktur yang memadai, hutan adat yang lestari, sungai dan sumber air bersih masyarakat dll. Peram pasan kawasan sumber ekonomi masyarakat lainnya seperti penggusuran sejumlah kebun karet dan tanam tumbuh yang hingga kini belum ada ganti kerugian yang memenuhi rasa keadilan.
Banyak hal yang terjadi pada masyarakat, adanya konflik dan kesenjangan social, Perusahaan ”melecehkan” eksistensi masyarakat adat berikut hukum adat yang adalah bagian dari identitas masyarakat setempat. Menyebabkan rasa tidak aman dan  intimidasi dan Terjadi kriminalisasi warga oleh perusahaan.
“Inilah periode pahit bagi masyarakat adat umumnya, khususnya masyarakat Semuying jaya dalam mempertahankan wilayah adat,”ucapnya.
Menurut Adam, Terjadi konflik sumber daya alam dan perampasan hak-hak warga yang berkepanjangan. Peran negara tidak begitu terlihat, demikian pula niat baik pe-rusahaan. Mandat yang diga riskan undang-undang untuk melayani warga dan menegakkan hukum ser-ta melaksanakan kewajiban negara (pemerintah) dalam menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak asasi warganya masih jauh panggang dari api.
Negara mesti menjadi panglima dan juru adil dan penegak ke-benaran. Pelanggaran dan atau kejahatan lingkungan maupun hak asasi manusia yang tercermin tanggungjawab(responsi-bility) atau kewajibannya (obligation). peran negara khususnya pemerintah daerah setempat tidak begitu signifikan dan bahkan gagal dalam melindungi hak-hak warganya.
R.Giring Malabo, Peneliti menuturkan, Kapitalisme jadi watak sangat mencolok,selalu eksploitatif(menghisap), ekspansif(beranak pinak),tetap menambah capital dan akumulatif(memusat). Tak heran pemodal kecil cenderung menyingkir, beradaptasi kalau tidak kalah oleh pihak yang berkapital besar dan kuat atau Kaya, karena relasi simbiosis dengan pemegang “kuasa” dan “senjata”. Ketiga watak dasar capital itulah mendorong terjadinya imprialisme.
“Itulah yang dapat kita refleksikan dari sejarah pengorbanan (secara terpaksa) orang iban di perbatasan RI dan Malaysia(semuying Jaya), berikut tanah, hak-hak ekonomi, social dan budayanya sebagai akibat dari proses eksploitasi”, kata R.Gring Malabo.
Diungkap Giring, Tanah dan hutan merupakan jantung kebudayaan orang iban Semuying jaya telah dirampas, Bahkan sisanya, seluas 1420 Ha yang merupakan hutan adat, semula mendapat pengakuan resmi dari Pemerintah Bengkayang melalui Keputusan Bupati Bengkayang No.30A tahun 2010 pun tergusur oleh perusahaan.
Fenomena globalisasi kapital kini, kearifan local yang dimiliki oleh komunitas-komunitas masyarakat adat memang terancam seiring dengan pengalihan hutan dan tanah mereka untuk proyek-proyek investasi skala besar.







Diposting : FirandaCopyright © LPSAIR 2012

0 komentar :

Post a Comment

Back To Top