Perlawanan Rakyat Terhadap Kapitalis (Perkebunan Sawit)
Ilustrasi kerusakan hutan dikonversi untuk perkebunan kelapa sawit firanda
Pontianak.
BCC. Bertempat di secretariat WALHI Kalimantan Barat dalam menyambut hari bumi,membahas
rangkuman perjalanan panjangan kasus yang menimpa warga Semunying Jaya. Sebuah
telaah mengenai ekspansi perkebunan kelapa sawit di wilayah Semunying Jaya,
Jagoi Babang, Bengkayang (Perbatasan Indonesia dan Malaysia).Kehadiran
investasi di daerah tersebut bukan malah ‘mensejahterakan’ namun merampas dan
mengabaikan hak-hak rakyat maupun keberadaan warga.
Perusahaan tidak memiliki itikad
baik terhadap keberadaan masyarakat adat setempat, masuk tanpa permisi, tanpa persetujuan warga
serta mengabaikan adat dan kearifan lokal dan
mengabaikan konstitusi yang berlaku dalam pembukaan lahan. Koordinator
Divisi Riset dan Dokumentasi Walhi Kalbar, Hendrikus Adam mengatakan,(Selasa. 22/4/2013).
Adam menjelaskan, Perusahaan
menghancurkan sumber kehidupan masyarakat atas akses terhadap sarana infrastruktur yang memadai, hutan adat
yang lestari, sungai dan sumber air bersih masyarakat dll. Peram pasan kawasan
sumber ekonomi masyarakat lainnya seperti penggusuran sejumlah kebun karet dan
tanam tumbuh yang hingga kini belum ada ganti kerugian yang memenuhi rasa
keadilan.
Banyak hal yang terjadi pada
masyarakat, adanya konflik dan kesenjangan social, Perusahaan ”melecehkan”
eksistensi masyarakat adat berikut hukum adat yang adalah bagian dari identitas
masyarakat setempat. Menyebabkan rasa tidak aman dan intimidasi dan Terjadi kriminalisasi warga
oleh perusahaan.
“Inilah periode pahit bagi
masyarakat adat umumnya, khususnya masyarakat Semuying jaya dalam
mempertahankan wilayah adat,”ucapnya.
Menurut
Adam, Terjadi konflik sumber daya alam dan perampasan hak-hak warga yang
berkepanjangan. Peran negara tidak begitu terlihat, demikian pula niat baik
pe-rusahaan. Mandat yang diga riskan undang-undang untuk melayani warga dan
menegakkan hukum ser-ta melaksanakan kewajiban negara (pemerintah) dalam
menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak
asasi warganya masih jauh panggang dari api.
Negara
mesti menjadi panglima dan juru adil dan penegak ke-benaran. Pelanggaran dan
atau kejahatan lingkungan maupun hak asasi manusia yang tercermin
tanggungjawab(responsi-bility) atau kewajibannya (obligation). peran negara khususnya
pemerintah daerah setempat tidak begitu signifikan dan bahkan gagal dalam
melindungi hak-hak warganya.
R.Giring
Malabo, Peneliti menuturkan, Kapitalisme jadi watak sangat mencolok,selalu
eksploitatif(menghisap), ekspansif(beranak pinak),tetap menambah capital dan
akumulatif(memusat). Tak heran pemodal kecil cenderung menyingkir, beradaptasi
kalau tidak kalah oleh pihak yang berkapital besar dan kuat atau Kaya, karena
relasi simbiosis dengan pemegang “kuasa” dan “senjata”. Ketiga watak dasar
capital itulah mendorong terjadinya imprialisme.
“Itulah
yang dapat kita refleksikan dari sejarah pengorbanan (secara terpaksa) orang
iban di perbatasan RI dan Malaysia(semuying Jaya), berikut tanah, hak-hak
ekonomi, social dan budayanya sebagai akibat dari proses eksploitasi”, kata
R.Gring Malabo.
Diungkap
Giring, Tanah dan hutan merupakan jantung kebudayaan orang iban Semuying jaya
telah dirampas, Bahkan sisanya, seluas 1420 Ha yang merupakan hutan adat,
semula mendapat pengakuan resmi dari Pemerintah Bengkayang melalui Keputusan
Bupati Bengkayang No.30A tahun 2010 pun tergusur oleh perusahaan.
Fenomena
globalisasi kapital kini, kearifan local yang dimiliki oleh komunitas-komunitas
masyarakat adat memang terancam seiring dengan pengalihan hutan dan tanah
mereka untuk proyek-proyek investasi skala besar.
Diposting : FirandaCopyright © LPSAIR 2012
0 komentar :
Post a Comment