Breaking News
Loading...
2013-05-01

Gesekkan Kepentingan Terhadap lahan Pertanian


Ilustrasi tanaman padi

Pontianak. BCC. Menyempitnya lahan pertanian di Kalimantan barat akan menyebabkan krisis pangan yang merupakan momok menakutkan bagi berbagai Negara di dunia saat ini. karena urusan pangan adalah urusan hidup dan matinya manusia. krisis pangan yang melanda pada tahun 2007-2008 memberikan dampak yang signifikan ditingkatan global kemudian mempengaruhi berbagai sektor tidak hanya ekonomi namun sosial dan politik. Krisis ekonomi yang melanda berbagai Negara maju berdampak pada negera-negara berkembang seperti Indonesia.
Perizinan Terbesar Industri Berbasis Lahan dan Hutan di Kalbar ada tiga (IUPHHK, perkebunan sawit dan Pertambangan), 76 perusahaan pemegang IUPHHK-HA/HTI seluas 3.748.431 Ha, untuk perkebunan sawit dengan jumlah perizinan 387 perusahaan dengan luas 4.292.853,64 Ha sementara HGU perkebunan sawit 105 perusahaan 669.168,64 Ha, sedangkan pertambangan dalam tahap eksplorasi ada 494 perusahaan luasnya 4.585.704,87 Ha, pada tahap operasi produksi 227 perusahaan dan seluas 669.168,64 Ha, demikian dikatakan oleh Mubarak dari Gemawan saat Ekspose Industri Berbasis Lahan dan Hutan di Kalimantan Barat,(30/4/2013).
Berdasarkan hasil rekapitulasi perizinan 12 kota kabupaten dan lintas kabupaten, IUPHHK-HA/RE dikuasai 30 perusahaan 1.318.624,00. IUPHHK–HTI sebanyak 47 perusahaan luas 2.429.807,00. Perkebunan kelapa sawit 377 perusahaan seluas 4.292.853.64 Ha dan 721 Perusahaan pertambangan luasnya 5.074.337.81 Ha,(sumber Data Disbun dan Distamben provinsi Kalbar 2012).
“Kebijakkan ini menyebabkan konsekwensi serius, bukan hanya bicara tanah tetapi alat produksi dan pelepasan lahan masyarakat menyebabkan konflik,”ucap Mubarak.
Menurut Mubarak, luasnya kawasan IUPHHK-HA/HTI, perkebunan sawit dan pertambangan menyebabkan menyempitnya ruang hidup masyarakat (Land Grabbing), kerusakkan lingkungan dan konflik social ekologis.
Hingga tahun 2010 telah terjadi 77 konflik perkebunan sawit dengan beragam bentuk dan variannya. Konflik perkebunan ini setidaknya telah menyebabkan 213 kasus dan sengketa yang  menyebar di hampir setiap kabupaten: 26 kasus di Ketapang, 10 di Kayong Utara, 5 di Kapuas Hulu,  20 di Melawi, 23 di Sintang, 20 di Sekadau, 26 di Sanggau, 13 kasus di Bengkayang, 20 kasus di Landak, 23 kasus di Sambas, 14 di Pontianak dan 13 kasus di Kubu Raya (Sumber Gemawan:  Diolah Dari berbagai sumber).
Gesekan kepentingan pemerintah untuk investasi dan masyarakat yang mempertahankan sumber produksi berupa pangan terus bergulir dari tahun ketahun, pada akhirnya masyarakat terdesak dan kalah demi mempertahankan alat produksi mereka berupa lahan pertanian yang berubah fungsi.
Sekarang pemerintah baru menyadari Ketahanan pangan menjadi salah satu konsen kebijakan pemerintah secara nasional untuk menghadapi ancaman terhadap krisis pangan. Ini jadi serius berhubungan kedaulatan pangan nasional. Banyak factor yang menyebabkan terjadinya permasalahan pangan secara nasional terutama pada sumber-sumber produksi pangan dan distribusi.
Arif Munandar, Swandiri Institute mengatakan,” Kalbar sebagai salah satu propinsi yang memiliki kawasan potensial pertanian pangan, kawasan potensial tersebut tersebar di seluruh kabupaten,”.
Berdasarkan data litbang deptan, kawasan potensial pertanian yang tersedia dan bisa dikembangkan seluas 2.809.575 Ha, sekitar 1.770.109 Ha (63,0%) diantaranya diarahkan untuk komoditas tanaman tahunan , 856.368 Ha (30,5%) untuk komoditas tanaman semusim, dan sisanya 183.098 ha (6,5%) diarahkan untuk padi sawah. Melihat potensi pertanian sangat memungkin kalbar menjadi salah satu provinsi yang menjadi lumbung pangan nasional.
Kebutuhan pangan kalbar terutama pada beras rata-rata 139,51 kg per-kapita. Pada tahun 2011 jumlah penduduk mencapai 4.477.348 jiwa. Berdasarkan data tersebut kebutuhan akan pangan khususnya padi sebesar 624.634,82 ton. Berdasarkan data statistik produksi padi di kalbar surplus, namun bila dilihat dari masih tingginya angka impor beras dari luar, hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan. Seharusnya kalbar justru menjadi provinsi pengekspor beras bukan pengimpor. Sindir Arif.
Di paparkan Arif. Sebagian masyarakat Kalbar masih menggantungkan  mata pencaharian di sektor pertanian, menurut data BPS Kalbar 2011 sebanyak 1.294.484 jiwa atau 60% dari total angkatan kerja di kalbar sebanyak 2.146.572 jiwa . Berdasarkan data tersebut ukuran kelayakan atas kepemilikan tanah pertanian  rata-rata paling minimal 1 hektar/petani maka dibutuhkan sebanyak 1.294.484 ha, realitasnya kawasan pertanian khususnya tanaman padi pada tahun 2011 hanya seluas 444.356 ha sekitar 34% dari kebutuhan lahan bagi petani.
Namun bila dilihat dari faktor kepemilikan lahan pertanian masih relative kecil dan sebagai besar masyarakat masih menjadi buruh tani dan buruh kebun (landless peasent). Fakto-faktor yang menyebabkan banyaknya petani menjadi buruh tani diantaranya akibat tingginya alihfungsi kawasan pangan ke perkebunan sawit akibatnya banyak petani kehilangan sumber-sumber produksinya dan ketimpangan penguasaan/kepemilikan lahan.
“Pentingnya kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang berpihak pada kepentingan masyarakat dalam upaya mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan di kalbar,”Katanya menegaskan.
Arif berpendapat kedepannya, bahwa pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan masyarakat kalbar yang semakin meningkat setiap tahunnya akibat semakin meningkatnya angka pertumbuhan penduduk. Selain itu, kebijakan pemerintah juga harus mengutamakan pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi lokal dengan tidak melakukan impor beras dari luar, sehingga tidak merugikan petani ditingkatan local.
ketersediaan lahan pangan semakin berkurang akibat pembangunan perkebunan sawit, HTI/HPH dan pertambangan.
Adanya Ancaman terhadap alihfungsi lahan semakin nyata, karena minimnya pengakuan pemerintah terhadap ruang kelola masyarakat terutama pada kawasan hutan dan non hutan. Diperlukan kebijakan yang progresif untuk mendorong perlidungan dan peningkatan kawasan pertanian pangan.
Kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab semakin tingginya ancaman terhadap produksi pangan, sehingga kawasan pangan terancam gagal panen akibat perubahan iklim, pengrusakan kawasan resapan air di hulu oleh industry ektraktif, peningkatan hama tanaman dan pemenuhan hak-hak petani atas lahan secara merata dengan melaksanakan program “landreform”.
Menghadapi tantangan kedepannya, Arif berharap, adanya PERDA PL2PB yang menjadi program prolegda provinsi dan beberapa kabupaten. Kebijakan tersebut terintegrasi dengan RTRWP Kalbar. perlunya juga Ekstensifikasi, intensisifikasi dan dioversifikasi pertanian pangan, serta mendorong infrastruktur penunjang dan jaringan pasar serta Kebijakan Redistribusi lahan kepada petani penggarap.



Diposting : FirandaCopyright © LPSAIR 2012

0 komentar :

Post a Comment

Back To Top