Gesekkan Kepentingan Terhadap lahan Pertanian
Ilustrasi tanaman padi
Pontianak. BCC. Menyempitnya lahan pertanian
di Kalimantan barat akan menyebabkan krisis pangan yang merupakan momok
menakutkan bagi berbagai Negara di dunia saat ini. karena urusan pangan adalah
urusan hidup dan matinya manusia. krisis pangan yang melanda pada tahun
2007-2008 memberikan dampak yang signifikan ditingkatan global kemudian mempengaruhi
berbagai sektor tidak hanya ekonomi namun sosial dan politik. Krisis ekonomi
yang melanda berbagai Negara maju berdampak pada negera-negara berkembang
seperti Indonesia.
Perizinan Terbesar Industri Berbasis Lahan
dan Hutan di Kalbar ada tiga (IUPHHK, perkebunan sawit dan Pertambangan), 76 perusahaan
pemegang IUPHHK-HA/HTI seluas 3.748.431 Ha, untuk perkebunan sawit dengan jumlah
perizinan 387 perusahaan dengan luas 4.292.853,64 Ha sementara HGU perkebunan
sawit 105 perusahaan 669.168,64 Ha, sedangkan pertambangan dalam tahap
eksplorasi ada 494 perusahaan luasnya 4.585.704,87 Ha, pada tahap operasi
produksi 227 perusahaan dan seluas 669.168,64 Ha, demikian dikatakan oleh
Mubarak dari Gemawan saat Ekspose Industri
Berbasis Lahan dan Hutan di Kalimantan Barat,(30/4/2013).
Berdasarkan hasil rekapitulasi perizinan 12
kota kabupaten dan lintas kabupaten, IUPHHK-HA/RE dikuasai 30 perusahaan
1.318.624,00. IUPHHK–HTI sebanyak 47 perusahaan luas 2.429.807,00. Perkebunan
kelapa sawit 377 perusahaan seluas 4.292.853.64 Ha dan 721 Perusahaan
pertambangan luasnya 5.074.337.81 Ha,(sumber Data Disbun dan Distamben provinsi
Kalbar 2012).
“Kebijakkan ini menyebabkan konsekwensi
serius, bukan hanya bicara tanah tetapi alat produksi dan pelepasan lahan
masyarakat menyebabkan konflik,”ucap Mubarak.
Menurut Mubarak, luasnya kawasan
IUPHHK-HA/HTI, perkebunan sawit dan pertambangan menyebabkan menyempitnya ruang
hidup masyarakat (Land Grabbing), kerusakkan lingkungan dan konflik social
ekologis.
Hingga tahun 2010 telah terjadi 77 konflik
perkebunan sawit dengan beragam bentuk dan variannya. Konflik perkebunan ini
setidaknya telah menyebabkan 213 kasus dan sengketa yang menyebar di hampir setiap kabupaten: 26 kasus
di Ketapang, 10 di Kayong Utara, 5 di Kapuas Hulu, 20 di Melawi, 23 di Sintang, 20 di Sekadau,
26 di Sanggau, 13 kasus di Bengkayang, 20 kasus di Landak, 23 kasus di Sambas,
14 di Pontianak dan 13 kasus di Kubu Raya (Sumber Gemawan: Diolah Dari berbagai sumber).
Gesekan kepentingan
pemerintah untuk investasi dan masyarakat yang mempertahankan sumber produksi
berupa pangan terus bergulir dari tahun ketahun, pada akhirnya masyarakat terdesak
dan kalah demi mempertahankan alat produksi mereka berupa lahan pertanian yang
berubah fungsi.
Sekarang pemerintah baru menyadari Ketahanan
pangan menjadi salah satu konsen kebijakan pemerintah secara nasional untuk
menghadapi ancaman terhadap krisis pangan. Ini jadi serius berhubungan kedaulatan
pangan nasional. Banyak factor yang menyebabkan terjadinya permasalahan pangan
secara nasional terutama pada sumber-sumber produksi pangan dan distribusi.
Arif Munandar, Swandiri Institute
mengatakan,” Kalbar sebagai salah satu propinsi yang memiliki kawasan potensial
pertanian pangan, kawasan potensial tersebut tersebar di seluruh kabupaten,”.
Berdasarkan data litbang deptan, kawasan
potensial pertanian yang tersedia dan bisa dikembangkan seluas 2.809.575 Ha,
sekitar 1.770.109 Ha (63,0%) diantaranya diarahkan untuk komoditas tanaman
tahunan , 856.368 Ha (30,5%) untuk komoditas tanaman semusim, dan sisanya
183.098 ha (6,5%) diarahkan untuk padi sawah. Melihat potensi pertanian sangat
memungkin kalbar menjadi salah satu provinsi yang menjadi lumbung pangan
nasional.
Kebutuhan pangan kalbar terutama pada beras
rata-rata 139,51 kg per-kapita. Pada tahun 2011 jumlah penduduk mencapai
4.477.348 jiwa. Berdasarkan data tersebut kebutuhan akan pangan khususnya padi
sebesar 624.634,82 ton. Berdasarkan data statistik produksi padi di kalbar
surplus, namun bila dilihat dari masih tingginya angka impor beras dari luar,
hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan. Seharusnya kalbar justru menjadi provinsi
pengekspor beras bukan pengimpor. Sindir Arif.
Di paparkan Arif. Sebagian masyarakat Kalbar
masih menggantungkan mata pencaharian di
sektor pertanian, menurut data BPS Kalbar 2011 sebanyak 1.294.484 jiwa atau 60%
dari total angkatan kerja di kalbar sebanyak 2.146.572 jiwa . Berdasarkan data
tersebut ukuran kelayakan atas kepemilikan tanah pertanian rata-rata paling minimal 1 hektar/petani maka
dibutuhkan sebanyak 1.294.484 ha, realitasnya kawasan pertanian khususnya tanaman
padi pada tahun 2011 hanya seluas 444.356 ha sekitar 34% dari kebutuhan lahan
bagi petani.
Namun bila dilihat dari faktor kepemilikan
lahan pertanian masih relative kecil dan sebagai besar masyarakat masih menjadi
buruh tani dan buruh kebun (landless peasent). Fakto-faktor yang menyebabkan
banyaknya petani menjadi buruh tani diantaranya akibat tingginya alihfungsi
kawasan pangan ke perkebunan sawit akibatnya banyak petani kehilangan
sumber-sumber produksinya dan ketimpangan penguasaan/kepemilikan lahan.
“Pentingnya kebijakan perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan yang berpihak pada kepentingan masyarakat dalam
upaya mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan di kalbar,”Katanya menegaskan.
Arif
berpendapat kedepannya, bahwa pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan masyarakat
kalbar yang semakin meningkat setiap tahunnya akibat semakin meningkatnya angka
pertumbuhan penduduk. Selain itu, kebijakan pemerintah juga harus mengutamakan
pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi lokal dengan tidak melakukan impor
beras dari luar, sehingga tidak merugikan petani ditingkatan local.
ketersediaan lahan pangan semakin berkurang
akibat pembangunan perkebunan sawit, HTI/HPH dan pertambangan.
Adanya Ancaman terhadap alihfungsi lahan
semakin nyata, karena minimnya pengakuan pemerintah terhadap ruang kelola
masyarakat terutama pada kawasan hutan dan non hutan. Diperlukan kebijakan yang
progresif untuk mendorong perlidungan dan peningkatan kawasan pertanian pangan.
Kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab
semakin tingginya ancaman terhadap produksi pangan, sehingga kawasan pangan
terancam gagal panen akibat perubahan iklim, pengrusakan kawasan resapan air di
hulu oleh industry ektraktif, peningkatan hama tanaman dan pemenuhan hak-hak
petani atas lahan secara merata dengan melaksanakan program “landreform”.
Menghadapi tantangan kedepannya, Arif
berharap, adanya PERDA PL2PB yang menjadi program prolegda provinsi dan
beberapa kabupaten. Kebijakan tersebut terintegrasi dengan RTRWP Kalbar.
perlunya juga Ekstensifikasi, intensisifikasi dan dioversifikasi pertanian
pangan, serta mendorong infrastruktur penunjang dan jaringan pasar serta
Kebijakan Redistribusi lahan kepada petani penggarap.
Diposting : FirandaCopyright © LPSAIR 2012
0 komentar :
Post a Comment