Breaking News
Loading...
2013-05-20

Catatan: Untuk Jujur Itu Sulit di Negeri Ini

Segala sesuatu yang kita lakukan didalam hidup ini tanpa sadar ataupun disadari tidak jarang untuk jujur itu sulit. Terkadang kita berucap, berujar, bersikap dalam perbuatan kita dan biertindak seringkali tidak sesuai dengan harapan orang lain atau banyak orang ataupun seseorang. Kenapa untuk jujur itu sulit?.
Realita hidup yang semakin kompleks dengan berbagai tantangan dan cobaan hidup, kondisi, sikap hidup, perjalanan hidup, perjuangan hidup, tantangan hidup,cobaan hidup, perbedaan hidup dan arti hidup dalam menjalani hidup ini sebagai rangkaian penuh dengan beban berat dan beban ringan. Entah benar atau tidak, pernyataan jujur atau kejujuran dalam diri tidak jarang (sering) dibedakan karena sikap dan perilaku, terkadang ada juga disebabkan atau dipengaruhi oleh segala perbedaan-perbedaan karena tidak sama baik bentuk tubuh/kondisi fisik/kaum difabel (keadaan cacat fisik dlsb), perbedaan strata, perbedaan status ekonomi. Kecenderungan ini terus terjadi dan berlaku bagi kaum akar rumput. Dianaktirikan, tidak dianggap, diacuhkan, diremehkan, diacuhkan, dihindari atau acapkali menghindar karena rupa tidak sama/berbeda (cacat), tidak dianggap dengan seribu bahkan berjuta alasan. Sudah barang tentu, sikap malu dan gengsi merajai hidup ini.
Ada yang mengatakan hidup bukan untuk di tangisi tetapi untuk disyukuri. Memang secara teorinya ya, tetapi secara prakteknya tidak. Tidak jarang kita merasa selalu sempurna, merasa lebih, merasa lebih sempurna dan ada yang mengagung-agungkan kelimpahannya berbanding lurus dengan pembedaan dengan kaum terpinggirkan yang terus bertambah. Hidup atau kehidupan kaum difabel sering menjadi cibiran/olok-olokan, tidak dianggap dan sudah pasti ada banyak kemampuan mereka diragukan bahkan dinomor duakan dan dibiarkan sehingga ada anggapan kaum difabel banyak dianggap sebagai sampah di negeri ini.
Untuk jujur ternyata sudah semakin sulit ditemukan saat ini, untuk mengakui, mengucapkan/dilontarkan. Sebuah argumen tentang segala sesuatu baik itu kehidupan, politik, sosial, ekonomi, budaya dan cinta dan sebagainya terkadang hanya sebatas belaskasihan dan terkadang penuh dengan keterpura-puraan. Sebuah janji harapan atau sebuah keinginan terlontar tetapi hanya sebuah simbol, hanya sebuah ucapan belaka.
Kenyataan hidup dan kejujuran tentang sikap serta kondisi yang apa adanya (difabel/cacat) seringkali dianggap sebagai sebuah alasan cengeng, manja atau selalu mengeluh dan mengaduh, namun sesungguhnya itu benar-benar terjadi. Hidup dengan segala keterbatasan memang disatu sisi menyakitkan, sebuah cobaan, suatu halangan, sebuah tantangan sekaligus sebagai resiko dan nasib hidup yang harus diterima apa adanya ada dan harus disyukuri. Walau sulit dan teramat berat dengan sisa-sisa upaya dan harapan.
Ejekan dan pertanyaan-pertanyaan sering merong-rong, ada kalanya menerima, menyemangati dengan apa adanya namun sangat minim. Kondisi dengan keadaan terkadang kepercayaan diri runtuh atau luluh tidak berdaya dikala diterpa realita dikala kejujuran para mereka yang sempurna cenderung jujur katanya tetapi bersembunyi, berdiam diatas tahta penderitaan, bersuara lembut namun keras melibas mencipta luka derita dalam jiwa, berprilaku suci murni seperti terlihat namun penuh amarah, dendam, kebencian, kesombongan dan pembelaan pada sahabat-sahabat yang menutup rapat dan mengunci rahang serta suara.
Tertutup tetapi berkoar-koar, memilih terlampau memilih tidak kunjung usai dan belum juga selesai. Hidup merdeka tetapi tetapi meronta, bebas lepas terlampau terlepas. Lain dulu lain sekarang, berubah sudah (sudah berubah) sudah pasti, janji-janji dulu tinggal janji dan tinggal kenangan. Retrorika politik saling tuding, politik kekuasaan merajai dan merasuk ke segala denyut nadi kehidupan dan menjadi derita bagi penerima hokum sebab akibat yaitu rakyat. Hukum tidak lagi berjalan sesuai irama dan petunjuk serta amanat undang-undang, fakta dan realita obrak abrik, hukum sudah terluka dan terlena karena uang, sering gaduh mengaduh terlampau bersahut tangis busung lapar dan pembangunan tidak kunjung henti tetapi hanya terbatas dan tanpa memandang kualitas, hak-hak masyarakat hanya angin lalu, pendidikan tercemar tangan-tangan nakal dengan membocorkan dan menghalalkan segala cara. Ijin terus dikeluarkan hanya untuk menguras dan membumi hanguskan sisa-sisa jantung hutan Borneo/ Kalimantan, Sumatera, Papua, Sulawesi dan Jawa bahkan terjadi juga di pulau-pulau lainnya. Hasil bumi entah kemana, eksplorasi dan perluasan areal menjadi derita hutan- hutan tropis dan satwa juga terancam hilang dan punah akibat habitat tinggal sisa-sisa akibat tangan-tangan tidak kelihatan, rakyat menjerit, berkonflik tapi terus dibiarkan dan menyisakan tanda tanya dan tangis dan pilu terlampau terlanjur tercemar di semua aspek.
13625708821946248308
Pembukaan lahan gambut di wilayah lawang Darah, Ketapang Kalbar. Pembukaan Lahan Berdampak pada terganggunya ekosistem di sekitarnya. Foto doc. Yayasan Palung, 2012.
Para petinggi sibuk dengan wacana, retorika, janji dan segala petuah-petuah, masyarakat atas dan menengah berkelimpahan harta dan sibuk berbagi harta gono gini. Masyarakat akar rumput dikadali dengan segala tipu daya, tidak sedikit mereka yang melarat dan sekarat. Kesenjangan tampak terjadi, konflik semakin sering dipertontonkan, konspirasi, nyawa melayang terlanjur bertambah; persatuan terpecah belah menjadi dogma saling serang, saling tuding dan saling menyalahkan serta selalu menjadi tanya di negeri ini. Akankah ini terus seperti ini dan terus berlanjut?. Andai saja semua bisa jujur dan jujur itu bisa berkata-kata. 


By : Petrus Kanisius 

0 komentar :

Post a Comment

Back To Top