Catatan: Untuk Jujur Itu Sulit di Negeri Ini
Segala
sesuatu yang kita lakukan didalam hidup ini tanpa sadar ataupun
disadari tidak jarang untuk jujur itu sulit. Terkadang kita berucap,
berujar, bersikap dalam perbuatan kita dan biertindak seringkali tidak
sesuai dengan harapan orang lain atau banyak orang ataupun seseorang.
Kenapa untuk jujur itu sulit?.
Realita
hidup yang semakin kompleks dengan berbagai tantangan dan cobaan hidup,
kondisi, sikap hidup, perjalanan hidup, perjuangan hidup, tantangan
hidup,cobaan hidup, perbedaan hidup dan arti hidup dalam menjalani hidup
ini sebagai rangkaian penuh dengan beban berat dan beban ringan. Entah
benar atau tidak, pernyataan jujur atau kejujuran dalam diri tidak
jarang (sering) dibedakan karena
sikap dan perilaku, terkadang ada juga disebabkan atau dipengaruhi oleh
segala perbedaan-perbedaan karena tidak sama baik bentuk tubuh/kondisi
fisik/kaum difabel (keadaan cacat fisik dlsb), perbedaan strata,
perbedaan status ekonomi. Kecenderungan ini terus terjadi dan berlaku
bagi kaum akar rumput. Dianaktirikan, tidak dianggap, diacuhkan,
diremehkan, diacuhkan, dihindari atau acapkali menghindar karena rupa
tidak sama/berbeda (cacat), tidak dianggap dengan seribu bahkan berjuta
alasan. Sudah barang tentu, sikap malu dan gengsi merajai hidup ini.
Ada yang mengatakan hidup
bukan untuk di tangisi tetapi untuk disyukuri. Memang secara teorinya
ya, tetapi secara prakteknya tidak. Tidak jarang kita merasa selalu
sempurna, merasa lebih, merasa lebih sempurna dan ada yang
mengagung-agungkan kelimpahannya berbanding lurus dengan pembedaan
dengan kaum terpinggirkan yang terus bertambah. Hidup atau kehidupan
kaum difabel sering menjadi cibiran/olok-olokan, tidak dianggap dan
sudah pasti ada banyak kemampuan mereka diragukan bahkan dinomor duakan
dan dibiarkan sehingga ada anggapan kaum difabel banyak dianggap sebagai
sampah di negeri ini.
Untuk
jujur ternyata sudah semakin sulit ditemukan saat ini, untuk mengakui,
mengucapkan/dilontarkan. Sebuah argumen tentang segala sesuatu baik itu
kehidupan, politik, sosial, ekonomi, budaya dan cinta dan sebagainya
terkadang hanya sebatas belaskasihan dan terkadang penuh dengan keterpura-puraan. Sebuah janji harapan atau sebuah keinginan terlontar tetapi hanya sebuah simbol, hanya sebuah ucapan belaka.
Kenyataan hidup dan kejujuran tentang sikap serta kondisi yang
apa adanya (difabel/cacat) seringkali dianggap sebagai sebuah alasan
cengeng, manja atau selalu mengeluh dan mengaduh, namun sesungguhnya itu
benar-benar terjadi. Hidup dengan segala keterbatasan memang disatu
sisi menyakitkan, sebuah cobaan, suatu halangan, sebuah tantangan
sekaligus sebagai resiko dan nasib hidup yang harus diterima apa adanya
ada dan harus disyukuri. Walau sulit dan teramat berat dengan sisa-sisa upaya dan harapan.
Ejekan
dan pertanyaan-pertanyaan sering merong-rong, ada kalanya menerima,
menyemangati dengan apa adanya namun sangat minim. Kondisi dengan
keadaan terkadang kepercayaan
diri runtuh atau luluh tidak berdaya dikala diterpa realita dikala
kejujuran para mereka yang sempurna cenderung jujur katanya tetapi
bersembunyi, berdiam diatas tahta penderitaan, bersuara lembut namun
keras melibas mencipta luka derita dalam jiwa, berprilaku suci murni
seperti terlihat namun penuh amarah, dendam, kebencian, kesombongan dan
pembelaan pada sahabat-sahabat yang menutup rapat dan mengunci rahang
serta suara.
Tertutup tetapi berkoar-koar, memilih terlampau memilih
tidak kunjung usai dan belum juga selesai. Hidup merdeka tetapi tetapi
meronta, bebas lepas terlampau terlepas. Lain dulu lain sekarang,
berubah sudah (sudah berubah) sudah pasti, janji-janji dulu tinggal
janji dan tinggal kenangan. Retrorika politik saling tuding, politik
kekuasaan merajai dan merasuk ke segala denyut nadi kehidupan dan
menjadi derita bagi penerima hokum sebab akibat yaitu rakyat. Hukum
tidak lagi berjalan sesuai irama dan petunjuk serta amanat
undang-undang, fakta dan realita obrak abrik, hukum sudah terluka dan
terlena karena uang, sering gaduh mengaduh terlampau bersahut tangis
busung lapar dan pembangunan tidak kunjung henti tetapi hanya terbatas
dan tanpa memandang kualitas, hak-hak masyarakat hanya angin lalu,
pendidikan tercemar tangan-tangan nakal dengan membocorkan dan
menghalalkan segala cara. Ijin terus dikeluarkan hanya untuk menguras
dan membumi hanguskan sisa-sisa jantung hutan Borneo/ Kalimantan,
Sumatera, Papua, Sulawesi dan Jawa bahkan terjadi juga di pulau-pulau
lainnya. Hasil bumi entah kemana, eksplorasi dan perluasan areal menjadi
derita hutan- hutan tropis dan
satwa juga terancam hilang dan punah akibat habitat tinggal sisa-sisa
akibat tangan-tangan tidak kelihatan, rakyat menjerit, berkonflik tapi
terus dibiarkan dan menyisakan tanda tanya dan tangis dan pilu terlampau
terlanjur tercemar di semua aspek.
Pembukaan lahan gambut di wilayah lawang
Darah, Ketapang Kalbar. Pembukaan Lahan Berdampak pada terganggunya
ekosistem di sekitarnya. Foto doc. Yayasan Palung, 2012.
By : Petrus Kanisius
0 komentar :
Post a Comment