Selingkuh Legislatif dan Eksekutif, Modus Baru Korupsi Kepala Daerah
KBR68H, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan tiga modus praktik korupsi yang kerap dilakukan kepala daerah.
Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, modus paling anyar yang digunakan kepala daerah adalah praktik kongkalikong dengan anggota DPRD. Hal itu misalnya terlihat pada kasus dugaan korupsi yang menjerat kepala daerah di Semarang, Jawa Tengah dan Riau. Pelaku menyuap anggota DPRD untuk menggolkan RAPBD.
"Tiga kategori ya, pertama penggunaan APBD untuk kepentingan pribadi ya. Jadi ada beberapa kasus yang kita usut itu, dia menggunakan APBD untuk kepentingan pribadi bupati atau walikota. Kedua, dalam kaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, terkait pengadaan barang dan jasa. Ketiga, perselingkuhan, ini trend terbaru ini ya, perselingkuhan antara legislatif dan eksekutif," ungkap Johan Budi.
Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri mengaku tengah mengevaluasi sistem pemilihan kepala daerah langsung. Evaluasi dilatarbelakangi maraknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi akibat sistem tersebut.
"Tiga kategori ya, pertama penggunaan APBD untuk kepentingan pribadi ya. Jadi ada beberapa kasus yang kita usut itu, dia menggunakan APBD untuk kepentingan pribadi bupati atau walikota. Kedua, dalam kaitan dengan penyalahgunaan kewenangan, terkait pengadaan barang dan jasa. Ketiga, perselingkuhan, ini trend terbaru ini ya, perselingkuhan antara legislatif dan eksekutif," ungkap Johan Budi.
Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri mengaku tengah mengevaluasi sistem pemilihan kepala daerah langsung. Evaluasi dilatarbelakangi maraknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi akibat sistem tersebut.
Juru Bicara Kemendagri Reydonnyzar Moenek mengatakan, sistem pemilihan langsung membutuhkan biaya besar. Ini membuka peluang kepala daerah terlibat korupsi jika sudah terpilih, untuk menutup biaya yang sudah mereka keluarkan.
"Ada seorang gubernur tertentu, ia mengatakan, 60 sampai 100 miliar harus habis untuk pemilihan kepala daerah. Itu atas beban yang bersangkutan, orang per orang. Belum sewa perahu, kemudian tim sukses, membentuk sekretariat, baliho, iklan dan seterusnya. Bagi Kabupaten dan Kota ada 15 sampai 30 miliarlah habis. Untuk Gubernur 60-100 miliar. Mahal sekali, darimana mereka akan menutup," kata Reydonnyzar.
Data Kemendagri menyebutkan lebih dari 270 kepala daerah tersangkut kasus hukum. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, kepala daerah masih mengutamakan kepentingan politik dibandingkan kepentingan masyarakat. Menurutnya ada yang salah dalam proses rekrutmen politik atau kepemimpinan di Indonesia.
"Ada seorang gubernur tertentu, ia mengatakan, 60 sampai 100 miliar harus habis untuk pemilihan kepala daerah. Itu atas beban yang bersangkutan, orang per orang. Belum sewa perahu, kemudian tim sukses, membentuk sekretariat, baliho, iklan dan seterusnya. Bagi Kabupaten dan Kota ada 15 sampai 30 miliarlah habis. Untuk Gubernur 60-100 miliar. Mahal sekali, darimana mereka akan menutup," kata Reydonnyzar.
Data Kemendagri menyebutkan lebih dari 270 kepala daerah tersangkut kasus hukum. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, kepala daerah masih mengutamakan kepentingan politik dibandingkan kepentingan masyarakat. Menurutnya ada yang salah dalam proses rekrutmen politik atau kepemimpinan di Indonesia.
0 komentar :
Post a Comment